Suku Praigoli adalah suku pedalaman
diwilayah Indonesia yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara Timur Kab. Sumba
Barat kec. Wanokaka terdapat kampung yang bernama kampung Praigoli. Sebuah desa
adat yang masih melakukan tradisi tanpa pengaruh modernisasi, selain
masyarakatnya yang masih tradisional, kampung ini meimiliki sebuah benda
bersejarah berupa baru kubur yang telah berumur ratusan tahun. Konon katanya
batu kubur tersebutdi bawa dari Sumba timur dari nenek moyang mereka hanya dengan
menggunakan buntalan kapas.
Di
Suku Praigoli dalam penyambutan tamu disambut dengan tari Negu yaitu tarian
penyambut oleh para wanita dan tari Kataga yaitu tarian penyambut oleh para
pria. Kemudian tamu diberikan kain selendang dan dibawa kerumah Taribang yaitu
rumah induk atau rumah adat suku praigoli, dirumah ini tamu diberikan sirih
pinang sebagai sebuah sapaan untuk tamu, dan tamu akan diberi nama oleh sang
pemilik rumah dan dengan hidung yang saling bersentuhan sebagai salam sumba
mereka tetapi menurut adat mereka ketika seseorang diberikan nama, mereka harus
mengorbankan darah hewan seperti babi contohnya. Dalam suku Praigoli, perempuan
yang lebih tua dari kita di panggil inak dan laki-laki yang lebih tua dari kita
di panggil amak.
Suku
Praigoli juga berternak tetapi tidak mereka dalam kandang melainkan mereka
pelihara dan beri makan di bwaah kolong rumah mereka. Laki-laki dalam suku
Praigoli ada aktivitas setiap harinya, yaitu membuat senjata yang berupa tombak
yang disebut juga Tuku Nibu. Tuku nibu adalah tombak yang dibuat dari logam
besi yang mereka bakar lalu di pukul-pukul menggunakan palu yang besar hingga
logam tersebut menjadi tipis dan tajam.
Suku
Praigolo sering mencari Nyale dipagi hari di pantai, Nyale adalah cacing laut
yang hanya muncul setahun sekali pada musim panen, dan nyale tersebut dibuat
makanan yaitu Rodango Nyale, yaitu Nyale dan kelapa yang sudah dimasak sebagai
makanan khas suku Praigoli.
Dalam
suku Praigoli ada yang namanya Pasola, yaitu kegiatan adat yang hanya dilakukan
setahun sekali dengan saling lempar lembing antara dua kubu pada saat bulan
purnama dan semakin banyak darah yang
bercucur dianggap semakin baik karena menandakan kesuksesan panen. Sejarahnya
berawal dari seorang wanita dari kampung
Waykhuwang yang diculik oleh pria dari kamoung kodi hingga akhirnya
muncullah pertikaian antara kedua desa tersebut.
Setelah
hari menjadi sore, para wanit suku Praigoli pergi mengambil air dengan alat
yang disebut Arung tanah dan di letakkan diatas kepala mereka yang sama dengan
kendi. Mereka mengambil air disebuah mata air yang bernama Mata wei teikapilit
yang menjadi sumber penghidupan suku Praigoli.
0 komentar:
Posting Komentar